Selasa, 26 April 2011

TUHAN PUNYA RENCANA


TUHAN PUNYA RENCANA

Aku meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku…
Ketika aku masih menikmatinya… ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang memperhatikanku… Matanya menatapku... Ya, Sebuah tatapan yang menusuk ke dalam hatiku… Tatapan yang penuh iba. Kemudian aku meletakkan gelas yang hanya menyisakan es batu yang masih membeku.

Aku penasaran kepada sosok anak kecil itu, sambil memandang anak itu, aku bertanya kepada pemilik warung, siapakah anak yang duduk di pinggir jalan itu…
Kemudian pemilik warung itu menceritakan bahwa Sudah seminggu bapak anak itu meninggal gara-gara sakit... Ibunya sudah meninggal waktu melahirkan dia... Dia tidak punya keluarga lagi… Sekarang dia tidur di mana saja karena di usir dari kos.

Aku kemudian menghampiri anak laki-laki itu yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki… Entah sudah berapa lama dia tidak mengganti pakaiannya…
Semakin aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak terurus… Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya…

Kemudian aku menyapa anak itu… “Nama kamu siapa dek?” aku bertanya dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.
“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.

Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku… Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.
“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya. Ngapain bohong…? Tapi nama kamu siapa…?”
Aku melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku Samuel Lie… Panggil saja Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara Alexander, panggil saja kak Tara!”
Dia mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.

Kemudian aku mengajak dia makan di sebuah warteg…
Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot… Lahap sekali anak ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak tersisa lagi.
Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepadaku… Aku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.

Aku kemudian mengajak anak itu pergi ke kosku…
Aku manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 1,5×1,5 meter…
Masih terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.

Samuel memanggil aku dengan sebutan koko Tara…
Tadi Samuel juga menceritakan bahwa dahulu dia punya kakak… Tetapi kakaknya yang bernama Daniel itu meninggal seperti papa dan mamanya…”
Mengingat tingkal kau Samuel yang masih polos… Aku tertawa dan Karena lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.

Walaupun kami baru saja bertemu… Aku merasakan Samuel sangat dekat dengan aku…
Dia bercerita tentang kehidupannya, akupun membuka diri dan mengutarakan keinginanku bahwa aku ingin punya toko sendiri tatkala aku mengajak Samuel ke tempat kerjaku…
Suatu kali… Tatkala Samuel merasa lapar, dia berbicara kepadaku… Aku merasa sedih dan kasian kepada dia, tetapi uang di dompetku tinggal seribu rupiah… Ketika aku mengatakan hal tersebut… Samuel hanya menatapku.
“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya ko.” Jawab Samuel…
Aku berlari untuk membeli dua potong pisang goreng… Begitu kembali, mata Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
“Untuk kamu saja ya…!!!”
Tetapi Samuel tidak mau, dia juga peduli denganku, karena mengetahui aku tidak makan tadi malam… Dengan berat hati aku memakannya juga.

Setelah itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko, lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajiku cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik hati mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan online. Aku menjual tas yang ada di toko Ko Willy di blogku.
Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.
“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.
Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.

Pada suatu hari… Tanpa sengaja aku menyentuh tubuh Samuel… Aku menemukan Samuel sedang sakit, badannya panas, dan dia sedang menahan sakit...
Sementara di luar kos, gerimis mulai turun… Tubuh Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhnya.

Aku bingung… Aku merasa tidak memiliki uang yang cukup untuk membawa dia ke dokter… Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab pertanyaannku... Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.
Akhirnya aku memutuskan untuk menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara kami… Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.

Sesampainya di rumah sakit… Satpam menghalangiku untuk masuk… Aku mengatakan bahwa adikku sakit dan membutuhkan pertolongan… Satpam tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.

Dengan ketus Satpam itu berkata kepadaku… “Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini…!!”
Aku berfikir… Ya Tuhan, Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku tidak diterima…???

Ketika satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung menerobos masuk… Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan untuk Samuel… Satpam tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki, karena sandalku putus saat berlari menggendong Samuel... Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku.

Empat hari kemudian… Aku dikejutkan dengan penjelasan seorang dokter muda perihal penyakit Samuel…
Hemofilia… Penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromosn X
Aku lebih terkejut lagi, ketika dokter itu mengatakan bahwa Samuel terkena Hermofilia B dan hasil pemeriksaan menyatakan bahwa dia juga positif mengidap HIV…

Aku berdiri seperti patung… Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap HIV…???
Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah menjalani transfusi darah dan ternyata HIV lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.

Kini aku tahu…, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga… Entahlah.
Aku menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang terpasang ditubuhnya…
Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang keluar dari mulutnya.

Aku teringat dengan apa yang terjadi sebelum Samuel berbaring di rumahsakit…
“Samuel pengen kado natal!” Ungkapan Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
Ketika aku bertanya, apa kado yang diinginkannya, dia mengatakan bahwa dia menginginkan boneka Tazmania…
“Nanti koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa hari ini belum ada tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede…” kataku saat itu kepada Samuel
Tetapi Samuel menjawab… “Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”

Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya… Akupun menjawab “Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.
“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.

Kemudian dia mengajakku berdoa… Dia mengatakan kepada Tuhan…
“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaan dan usahanya”
Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.

Segala macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel. Sudah dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.

Suatu kali dia bertanya kepadaku… “Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel… Infeksi yang tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal…
Aku menjawab… “Artinya, kamu akan pergi kesuatu tempat yang jauh… Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.” Aku mencoba untuk menguatkannya
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko…??”

Pertanyaan itu akhirnya membuat air mataku juga jatuh... Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
Kemudian dia melanjutkan perkataannya…
“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang… Koko sering jalan kaki pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Samuel…??”
Kemudian aku memeluknya dan dia kembali berbicara…
“Nanti kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.

Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel… Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko… Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko, aku mau… kasih koko kado.”

Aku tercengang dengan perkataan Samuel…
“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel dan dia bernyanyi untukku… Semakin lama suaranya semakin melemah…

“Dalam segala perkara Tuhan punya rencana… Yang lebih besar dari semua yang terpikirkan
Apapun yang Kau perbuat tak ada maksud jahat… S’bab itu ku lakukan semua denganMu Tuhan
Ku tak akan menyerah pada apapun juga… Sebelum ku coba semua yang ku bisa
Tetapi ku berserah kepada kehendakMu… Hatiku percaya Tuhan punya rencana…

Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu tersebut.
“Selamat natal ya ko.” Ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat natal juga sayang.”

Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.
Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga menantimu, pahlawan kecilku…” bisikku dikupingnya yang dingin.

Sobat…
Janganlah menyerah dengan segala keadaan yang kita alami… Tuhan beserta dengan kita…

Tuhan Yesus Memberkati
Daniel C. Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar