Rabu, 24 Desember 2014

Berikan Aku Seorang Ayah



REFLEKSI NATAL
Daniel Saputra

Sobat… Apakah arti NATAL untuk kita…???
Sudahkah kita membuka hati agar DIA lahir di dalam hidup kita…???
Sudahkah kita membuka hati agar DIA hadir dan menyentuh hidup kita sehingga terjadi pembaharuan dan pemulihan bagi kita…???
Sebuah kisah dari seorang anak kecil yang merindukan sosok seorang ayah yang kiranya dapat menginspirasi kita…

BERIKAN AKU SEORANG AYAH
Secarik kertas koran terbang dikipas angin dan tersangkut pada tiang listrik. Dari kejauhan bisa aku baca judul besar yang tertulis dengan warna merah pada halaman kertas itu yang mengingatkan saya akan natal yang kini tiba. Malam nanti adalah "Malam Kudus, Malam Damai" dan setiap hati pasti mengimpikan agar di malam ini mereka bisa menemukan setitik kesegaran, menemukan secercah kedamaian yang dibawa oleh Allah.

Judul di kertas koran itu tertulis dalam Karakter khusus bahasa Cina : "Selamat Hari Natal: Semoga Harapan Anda Menjadi Kenyataan." Karena tertarik dengan judul tersebut, saya memungut kertas koran yang sudah tercabik dan kotor itu dan membacanya. Ternyata ini merupakan halaman khusus yang sengaja disiapkan bagi siapa saja agar menuliskan impian dan harapannya.
Koran ini seakan berperan sebagai agen yang meneruskan harapan mereka agar kalau boleh bisa didengarkan oleh Allah. Ada kurang lebih tiga puluh harapan yang dimuat di halaman koran hari ini. Namun saya tertarik dengan harapan yang ditulis oleh seorang gadis kelas tiga SMP :

"Tuhan...apakah Engkau sungguh ada? Aku tak pernah tahu tentang Engkau. Aku tak pernah melihat diriMu. Namun banyak orang mengatakan bahwa malam ini Engkau yang jauh di atas sana akan menjelma menjadi seorang manusia sama seperti diriku dan mendengarkan setiap harapan yang ada di dasar setiap hati. Tuhan kalau Engkau sungguh ada dan malam ini mengetuk hatiku, aku akan mengatakan kepadaMu bahwa aku butuh seorang ayah. Berikanlah aku seorang ayah. Aku tahu bahwa harapanku ini bukanlah sesuatu yang baru, karena sejak kecil aku secara terus-menerus merindukan hal ini."

"Kata ibuku di rumahku ada seorang ayah. Aku tahu bahwa di rumahku, di samping ibuku masih ada seorang lelaki yang hidup bersama kami. Dan kata ibu dia inilah yang seharusnya aku panggil ayah. Namun aku tak pernah merasakan cinta seorang ayah. Setiap hari kami tak pernah mengucapkan lebih dari tiga kalimat. Ketika kami saling berpapasan, yang aku rasakan cumalah kebencian yang terpancar dari sudut kedua matanya."

"Benar bahwa ia membayar uang sekolahku. Ia juga membiayai kebutuhan hidupku. Tapi... sebatas itukah yang disebut kasih sayang seorang bapa? Dia tak lebih dari pada seseorang yang harus memenuhi sebuah tuntutan hukum untuk mendampingi diriku, tetapi ia bukanlah ayahku. Setiap ongkos yang keluar untuk membayar uang sekolahku harus aku bayar dengan derai air mata dan isakan tangis, harus aku bayar dengan mata yang membengkak. Inikah kasih sayang seorang bapa?¡¨

"Tuhan...apakah Engkau mendengarkan diriku? Malam ini ketika Engkau menjelma menjadi seseorang seperti diriku dan menjenguk bathinku, hanya satu hal yang aku harapkan. Berikanlah aku seorang bapa. Seorang bapa yang mencintaiku, seorang bapa yang bisa menasihati aku tanpa mencaci diriku."

Setelah membaca tulisan ini aku bisa merasakan kepedihan yang bercokol dalam diri si gadis ini. Aku pernah menjadi seorang anak tiri, anak yang kehilangan seorang bapa ketika masih berumur dua tahun. Dan betapa dalam dan besarnya kerinduanku untuk bisa merasakan kasih sayang seorang bapa. Ketika berumur sembilan tahun aku akhirnya boleh memperoleh seorang ayah lagi.

Namun temanku, aku yakin anda pernah membaca kisah hidup anak tiri. Aku tak hanya membaca, namun dengan hidupku sendiri aku mengalaminya. Ternyata kerinduanku untuk menyapa seseorang sebagai bapa hanya bisa bertahan dalam mimpi. Itulah nasib menjadi seorang anak tiri.
Namun waktu terus bergulir. Bapa tiriku kini telah ubanan. Kalau dulu aku bermimpi untuk dicintai oleh seseorang yang boleh aku panggil sebagai bapa, walau mimpiku ini tak pernah menjadi kenyataan, namun kini aku hanya bisa berjuang untuk mencintai seseorang dengan harapan bahwa ia boleh menyapa aku sebagai anaknya…
Yang ada di dasar bathinku bukanlah rasa marah dan dendam. Tapi belas kasihan. Dan ini hanya menjadi mungkin karena aku telah mengalami cinta seorang Bapa yang dibawa oleh seorang bayi mungil di kandang hina. Yesus yang lahir dalam dingin telah mengatakan kepadaku bahwa ada seorang Bapa yang selalu dan senantiasa mencintaiku. Aku tak perlu lagi mencari dan bermimpi. Kini adalah giliranku untuk membalas cinta tersebut dengan mencintai orang lain, dan...terutama mencintai ayah tiriku.

Sobat, Bagaimana dengan kita…???
Adakah kita merindukan DIA, untuk hadir bagi kita…???
Adakah kita merindukan DIA, untuk menjadi BAPA bagi kita…???

Selamat Natal 2014
Tuhan Yesus senantiasa memberkati,
Daniel Saputra

Sabtu, 22 Februari 2014

Menikmati Hidup



MENIKMATI HIDUP

Sobat…
Ditengah tuntutan jaman yang semakin hari semakin terasa berat… Dimana manusia dengan segala aktivitasnya dibuat semakin sibuk…

Sibuk untuk mewujud-nyatakan segala impiannya… Meraih apa yang menjadi harapan atau cita – citanya… Bahkan adapula yang sibuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya…

Ironis… Tatkala manusia diibaratkan sebagai seekor kuda pacu yang terus berlari tanpa henti untuk mancapai garis finish…
Lebih ironis lagi… apabila kita tidak tahu, dimana garis finish itu berada…

Manusia seakan lupa…
Hidup yang penuh anugrah yang seharusnya kita dapat menikmatinya… Menjadi hidup yang dipenuhi dengan ambisi pribadi dan… Kita memperjuangkan untuk hal itu…

Bukan manusia yang mengendalikan segala sesuatu yang ada disekitarnya… termasuk harta… kekayaan dan ambisi… tetapi yang terjadi adalah sebaliknya… Kita dikendalikan oleh semua itu…
Kita lupa menikmati kehidupan… Bahkan kita lupa untuk bersyukur pada Tuhan…
Yang menganugrahkan semua berkat dalam hidup kita…

Sebuah kisah untuk kita renungkan…

Sobat… Ada seorang penyanyi terkenal…
Suatu saat ketika didatangi dan disanjung - sanjung oleh para pengagumnya, ia berkata dengan nada pahit…

Ketika aku masih muda, aku berusaha keras untuk mendaki puncak karierku…
Saat itu aku seperti layaknya seekor kuda yang sedang menempuh jalur perlombaan… tak ada sesuatu yang lain yang mampu menarik perhatiannya kecuali garis finish…

Melihatku yang sedemikian sibuk, nenekku memberikan nasihat kepadaku… “Cucuku, jangan berjalan terlalu cepat. Karena sepanjang jalanmu ada banyak pemandangan menarik…”

Namun aku tak pernah mendengarkan kata-katanya…
Dalam hatiku aku berpikir, bila seseorang telah melihat secara jelas arah perjalanannya, mengapa harus menyia-nyiakan waktu untuk sekedar berhenti sejenak…?
Dengan pikiran yang demikian, aku berlari dan terus berlari ke depan…
Tahun silih berganti dan aku memperoleh kedudukan, nama serta harta yang aku idam-idamkan sejak lama... Aku juga memiliki sebuah keluarga yang amat aku cintai.
Namun… Aku tak pernah merasa bahagia…!!!
Aku heran dan terus bertanya, di manakah letak kesalahannya sehingga aku tak bahagia…???

Sobat… Setelah diam cukup lama, penyanyi itu melanjutkan…
Suatu saat, kelompok musik kami ikut pementasan di luar daerah… Akulah penyanyi utamanya. Setelah selesai pementasan… Semua yang hadir bertepuk tangan bersorak-sorai tanpa henti…

Pementasan saat itu sangatlah berhasil.
Namun… saat orang sedang bersorak-sorai itulah aku dilanda kesedihan mendalam...
Seseorang memberikan telegram kepadaku yang dikirim oleh isteriku... Anak kami yang keempat baru saja dilahirkan…

Setiap kali anak-anakku dilahirkan aku selalu berada jauh dari isteriku, cuma dialah yang harus menanggung beban penderitaan seorang diri…
Aku tidak pernah melihat bagaimana anak-anakku mulai membuat langkah pertama…, belum pernah mendengar bagaimana mereka tertawa atau menangis…
Aku hanya mendengar semuanya itu dari cerita ibunya…

Kata-kata nenekku kini terngiang lagi di telingaku...
Sungguh, aku telah kehilangan banyak teman…, sudah lama aku tak pernah menyentuh buku-buku, dan serasa hampir seabad aku tak pernah menikmati indahnya bunga yang sedang mekar di taman atau hijaunya pohon-pohon serta merdunya kicau burung.
Aku terlampau sibuk…!!!

Sobat…
Seorang bijak berkata; “Kita tak dapat hidup hanya dengan berpikir tanpa bekerja. Namun hidup ini menjadi amat tak berarti bila kita bekerja seperti sebuah mesin yang bergerak tanpa henti.” Kita butuh waktu luang untuk menilai kembali… mengevaluasi apa yang telah kita hasilkan… apa yang telah kita kerjakan selama ini… dan bersyukur kepada Tuhan untuk setiap penyertaanNya, serta menentukan dan memastikan arah mana yang akan menjadi tujuan hidup kita…

Sobat…
Ketika berjalan, kita mengarah ke suatu tujuan tertentu…
Ketika berhenti kita memupuk tenaga baru untuk memulai perjanan kita kembali...

Sobat…
Hidup tak akan berarti tanpa kita bersyukur…
Apapun yang terjadi… PenyertaanNya sungguh sempurna untuk kita…
Marilah kita buka mata kita… Marilah kita syukuri untuk segala sesuatu yang telah Tuhan Anugrahkan dalam hidup kita… untuk keluarga… untuk teman – teman… sahabat… pekerjaan… dan tentunya masih sangat banyak lagi ketika kita menghitung segala berkat Tuhan dalam hidup kita…

Selamat Menikmati Hidup… Selamat Bersyukur…
Tuhan Yesus Memberkati

Daniel C. Saputra

Senin, 17 Februari 2014

Segelas Susu



SEGELAS SUSU

Sobat… KASIH, adalah sebuah kata yang seringkali kita dengar…
KASIH… merupakan sesuatu yang luar biasa, tatkala kita dapat melakukannya… tatkala kita dapat mempraktekkannya dalam kehidupan kita…

Tidaklah mudah bagi kita untuk menjadi pelaku KASIH dalam hidup ini…
Yang seringkali terjadi adalah… KASIH sebagai PENGHIAS… sebagai PEMANIS bibir kita…

Sobat… Mengasihi itu sulit, tidaklah semudah untuk mengucapkannya…
Mungkin kita berkata… “mengasihi diri sendiri saja susah… bagaimana mengasihi orang lain…???”

Tetapi Sobat… Tentunya kita mau belajar, kita mau dibentuk dengan kejadian – kejadian di dalam hidup kita, dimana KASIH adalah sesuatu yang INDAH

Sebuah kisah untuk kita renungkan…

Suatu hari ada seorang bocah miskin sedang berjualan dari rumah ke rumah untuk membiayai sekolahnya…
Ia merasa lapar dan haus, tapi sayangnya ia hanya mempunyai sedikit sekali uang…

Anak itu memutuskan untuk meminta makanan dari rumah terdekat…
Tetapi, saat seorang gadis muda membukakan pintu, ia kehilangan keberaniannya.
Akhirnya ia hanya meminta segelas air putih untuk menawarkan dahaga.
Gadis muda itu berpikir pastilah anak ini merasa lapar, maka dibawakannyalah segelas besar susu untuk anak tersebut.

Ia meminumnya perlahan, kemudian bertanya…, "Berapa saya berhutang kepada Anda…?"
Gadis muda itu mengatakan, "Kamu tidak berhutang apapun kepada saya, Ibuku mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk perbuatan baik yang kami lakukan…."
Anak itu menjawab, "Kalau begitu, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang terdalam."

Sobat, Saat anak kecil yang miskin itu meninggalkan rumah tersebut, dia bukan hanya merasa badannya lebih segar, tetapi keyakinannya pada Tuhan dan sesama manusia menjadi lebih kuat. Sebelumnya dia sudah merasa putus asa dan hampir menyerah…

Sobat… Tahun demi tahun berlalu.
Suatu hari wanita muda tersebut mengalami sakit parah. Dokter yang menanganinya merasa bingung dan akhirnya mengirim wanita itu ke kota besar untuk mendapatkan pertolongan spesialis…
Dr. Howard Kelly dipanggil untuk berkonsultasi.

Ketika ia mendengar nama kota tempat asal si pasien, Dr. Howard Kelly segera pergi ke kamar tempat dimana wanita tersebut dirawat…
Ia langsung mengenali dan memutuskan untuk melakukan hal terbaik yang bisa ia usahakan untuk menolongnya.

Sejak hari itu, ia memberikan perhatian khusus pada kasus ini...
Setelah melewati perjuangan panjang, peperanganpun dapat dimenangkan, wanita tersebut dapat dipulihkan kembali… dan Dr. Kelly dipanggil oleh pihak administrasi untuk menandatangani biaya yang harus dibayarkan oleh si wanita kepadanya…
Ia melihat kepada kuitansi tersebut, dan kemudian menuliskan sesuatu pada Kuintansi tersebut lalu di kirim oleh perawat ke kamar perawatan si wanita.

Sobat… Wanita tersebut merasa takut untuk membukanya, karena ia merasa yakin bahwa ia tidak akan mampu membayarnya…
Akhirnya dengan menguatkan hati, ia melihat ke kuintansi tersebut. Sebuah tulisan pada kuitansi telah menarik perhatiannya.

Ia membaca tulisan itu : "TELAH DI BAYAR PENUH DENGAN SATU GELAS SUSU." Tertanda, Dr. Howard Kelly.

Sobat… Air mata mengalir dari matanya saat hatinya yang bahagia mengucapkan doa dan pujian :
"Terima kasih Tuhan, kasihMu telah memancar melalui hati dan tangan manusia."
Sobat… Ternyata Dr. Howard Kelly adalah orang yang ditolong oleh wanita tersebut beberapa tahun yang lalu…

Sobat… Dapat kita bayangkan… sebuah tindakan yang mungkin kita anggap sepele pada awalnya, tetapi tindakan tersebut sangat membekas dalam ingatan Dr. Howard Kelly…
Wanita tersebut, mungkin dahulu menolong bocah miskin itu merupakan tindakan biasa, tindakan yang diajarkan oleh ibunya… dan saya yakin, saat itu wanita tersebut menolong bocah miskin itu dengan tidak mengharapkan balasan…

Bagaimana mungkin segelas susu dibalas dengan biaya rumah sakit yang sangat besar…???
Tetapi itulah KASIH
Marilah kita belajar untuk mengasihi sesama kita…
Meskipun berat, tetapi Tuhan yang akan memampukan dan menolong kita… asal kita mau dibentuk oleh Dia…!!!

Selamat mewujud nyatakan kasih…
Tuhan memberkati…

Daniel C. Saputra


Kamis, 13 Februari 2014

Kisah Buah Apel



Sobat... Hidup adalah misteri, dimana kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu yang kita yakin dan percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah dan yang terbaik dalam hidup kita...!!!
Dia yang mengatur dan yang merancangkan masa depan kita... Dia yang menetapkan setiap langkah hidup kita...
Hari ini... sebuah moment yang indah dimana kita diingatkan akan kasih... Kepada siapapun juga marilah kita mewujud nyatakan kasih tersebut, bukan hanya di bibir saja, tetapi melalui tindakan nyata...!!!

Menyambut hari Valentine, saya bagikan sebuah kisah nyata yang saya ambil dari buku Chicken Soup For The Couple yang ditulis oleh Barbara De Angelis, Ph.D, kiranya kisah ini memberikan inspirasi bagi kita semua...

KISAH BUAH APEL

Pada suatu hari yang gelap di musim gugur 1942, udara dingin, sangat dingin. Hari itu tak ada bedanya dengan hari-hari lain di kamp konsentrasi Nazi. Aku berdiri menggigil dalam pakaian compang-camping yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk ini benar-benar terjadi.
 
Aku hanya seorang anak laki-laki. Seharusnya aku bermain – main bersama kawan-kawanku; seharusnya aku pergi ke sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa depanku, ketika aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku sendiri. Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup, dan aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, mencoba bertahan hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret dari rumahku dan dibawa ke sini bersama puluhan ribu orang Yahudi lainnya. Apakah besok aku masih hidup...? Apakah malam ini aku akan dibawa ke kamar gas...?
 
Aku berjalan mondar-mandir di dekat pagar kawat berduri, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku lapar, tetapi sudah sejak lama aku kelaparan, lebih lama dari yang ingin kuingat-ingat. Aku selalu kelaparan... Makanan yang layak sepertinya hanya ada dalam mimpi.
 
Setiap hari semakin banyak di antara kami menghilang begitu saja, masa lalu yang bahagia tampak semakin samar. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan. Tiba-tiba, aku melihat seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat berduri... Anak itu berhenti dan memandangku dengan mata sedih, mata yang seakan berkata bahwa dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan jawab mengapa aku ada di sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu dan canggung karena anak perempuan asing itu melihatku dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku tak kuasa mengalihkan mataku dari matanya.
 
Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang cantik... merah kemilau.
Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu...?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat – cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari – jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan.
 
Esok harinya, aku tak dapat menahan diri, pada waktu yang sama aku berdiri di tempat yang sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia datang lagi...? Tentu saja...!!! Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada seiris harapan tipis. Dia telah memberiku harapan, aku harus bergantung erat pada harapan itu.
 
Sekali lagi, dia datang. Sekali lagi, dia membawakan sebutir apel untukku, melemparkannya lewat atas pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin. Kali ini apel itu kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia melihatnya. Matanya berbinar. Apakah dia mengasihaniku? 
Mungkin...!!! Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku merasa hatiku bergetar karena luapan perasaanku.
 
Tujuh bulan lamanya kami bertemu seperti itu. Kadangkadang kami bertukar kata. Kadang-kadang, hanya sebutir apel. Tetapi, bukan hanya perutku yang diberinya makanan... Dia bagaikan malaikat dari surga. Dia memberi makanan untuk jiwaku. Dan entah bagaimana, aku tahu aku juga memberinya makanan.

Suatu hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami akan dipindahkan ke kamp lain. Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang jelas, itu merupakan akhir pertemuanku dengan kawanku itu.
Esok harinya ketika aku menyapanya, dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak kuasa kusampaikan,
“Besok jangan bawakan aku apel,” kataku kepadanya. “Aku akan dipindahkan ke kamp lain. Kita takkan pernah bertemu lagi.” Sebelum kehilangan kendali atas diriku, aku berbalik dan berlari menjauhi pagar. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir membasahi wajahku.

Bulan demi bulan berlalu... Mimpi buruk itu terus berlanjut. Tetapi kenangan akan anak perempuan itu membantuku mengatasi saat-saat mengerikan, rasa sakit, dan rasa putus asa.
Berkali-kali aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat wajahnya dan matanya yang lembut.
Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu.

Sampai pada suatu hari, mimpi buruk itu tiba – tiba berakhir... Perang sudah selesai. Kami yang masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua milikku yang berharga, termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyimpan kenangan akan anak perempuan itu... kenangan yang kusimpan dalam hati dan memberiku kemauan untuk meneruskan hidupku setelah aku pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru.

Tahun-tahun berlalu... Sampai tahun 1957. Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang kawan memaksaku melakukan kencan buta dengan seorang wanita kawannya.
Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak – tidaknya kami punya persamaan.

“Di mana kau selama masa perang...?” Roma bertanya kepadaku, dengan cara halus seperti umumnya para imigran
yang saling bertanya tentang tahun-tahun itu.
“Aku ada di sebuah kamp konsentrasi di Jerman,” jawabku.
Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku ingat masa laluku, Herman,” Roma menjelaskan dengan suara yang tiba-tiba menjadi sangat lembut. “Waktu masih kecil, aku tinggal dekat sebuah kamp konsentrasi. Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari. Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya. Aku selalu melemparkan apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali.”
Roma mendesah panjang, lalu meneruskan, “Sulit menggambarkan bagaimana perasaan kami masing – masing... bagaimanapun waktu itu kami masih muda sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar beberapa
kata... tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta yang tulus. Aku yakin dia pasti dibunuh seperti yang lain-lain. Tetapi, aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang bersama – sama.”

Dengan jantung berdegup kencang hingga kupikir nyaris meledak, aku menatap Roma lekat – lekat dan bertanya,
“Apakah pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu, besok jangan bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan
ke kamp lain’?”
“Wah, ya,” sahut Roma, suaranya bergetar... “Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?”
Aku meraih tangannya dan menjawab, “Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma.”

Detik-detik berlalu lambat. Yang ada hanya keheningan. Kami tak dapat mengalihkan mata kami. Lama kami saling
memandang. Kemudian, setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari kenangan kami.

Akhirnya, aku berkata, “Roma, aku pernah dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin dipisahkan lagi darimu. Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu, selamanya. Sayangku, maukah kau menikah denganku?”
Aku melihat binar – binar yang sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab, “Ya, aku mau menikah denganmu.” Lalu kami berpelukan, pelukan yang sudah kami dambakan selama bertahun – tahun, tetapi
terhalang oleh, pagar kawat berduri yang memisahkan kami.

Sekarang, tak ada lagi yang akan memisahkan kami. Hampir empat puluh tahun telah berlalu sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Tuhan mempertemukan kami untuk pertama kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji harapan. Sekarang, Tuhan pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan janji itu.

Hari Valentine tahun 1996. Kuajak Roma ke acara Oprah Winfrey Show untuk menghormatinya di siaran televisi nasional. Di depan jutaan pemirsa, aku ingin mengatakan kepadanya apa yang kurasakan dalam hatiku setiap hari:
“Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu.”
Herman dan Roma Rosenblat

Happy Valentine’s Day
With Love,
Daniel Saputra