Sobat... Hidup
adalah misteri, dimana kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu yang
kita yakin dan percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah dan yang
terbaik dalam hidup kita...!!!
Dia yang
mengatur dan yang merancangkan masa depan kita... Dia yang menetapkan setiap
langkah hidup kita...
Hari ini...
sebuah moment yang indah dimana kita diingatkan akan kasih... Kepada siapapun
juga marilah kita mewujud nyatakan kasih tersebut, bukan hanya di bibir saja,
tetapi melalui tindakan nyata...!!!
Menyambut hari
Valentine, saya bagikan sebuah kisah nyata yang saya ambil dari buku Chicken
Soup For The Couple yang ditulis oleh Barbara De Angelis, Ph.D, kiranya kisah
ini memberikan inspirasi bagi kita semua...
KISAH BUAH
APEL
Pada suatu hari
yang gelap di musim gugur 1942, udara dingin, sangat dingin. Hari itu tak ada
bedanya dengan hari-hari lain di kamp konsentrasi Nazi. Aku berdiri menggigil
dalam pakaian compang-camping yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk
ini benar-benar terjadi.
Aku hanya
seorang anak laki-laki. Seharusnya aku bermain – main bersama kawan-kawanku;
seharusnya aku pergi ke sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa
depanku, ketika aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku
sendiri. Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup,
dan aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, mencoba bertahan
hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret dari rumahku dan
dibawa ke sini bersama puluhan ribu orang Yahudi lainnya. Apakah besok aku
masih hidup...? Apakah malam ini aku akan dibawa ke kamar gas...?
Aku berjalan
mondar-mandir di dekat pagar kawat berduri, mencoba menghangatkan tubuhku yang
kedinginan. Aku lapar, tetapi sudah sejak lama aku kelaparan, lebih lama dari
yang ingin kuingat-ingat. Aku selalu kelaparan... Makanan yang layak sepertinya
hanya ada dalam mimpi.
Setiap hari
semakin banyak di antara kami menghilang begitu saja, masa lalu yang bahagia
tampak semakin samar. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan. Tiba-tiba, aku
melihat seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat berduri... Anak
itu berhenti dan memandangku dengan mata sedih, mata yang seakan berkata bahwa
dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan jawab mengapa aku ada di
sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu dan canggung karena anak perempuan
asing itu melihatku dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku tak kuasa
mengalihkan mataku dari matanya.
Kemudian dia
merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang cantik...
merah kemilau.
Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu...?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat – cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari – jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan.
Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu...?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat – cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari – jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan.
Esok harinya,
aku tak dapat menahan diri, pada waktu yang sama aku berdiri di tempat yang
sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia datang lagi...? Tentu
saja...!!! Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada seiris harapan tipis. Dia
telah memberiku harapan, aku harus bergantung erat pada harapan itu.
Sekali lagi,
dia datang. Sekali lagi, dia membawakan sebutir apel untukku, melemparkannya
lewat atas pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin. Kali ini apel itu
kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia melihatnya. Matanya berbinar.
Apakah dia mengasihaniku?
Mungkin...!!!
Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama kalinya
sejak sekian lama, aku merasa hatiku bergetar karena luapan perasaanku.
Tujuh bulan
lamanya kami bertemu seperti itu. Kadangkadang kami bertukar kata.
Kadang-kadang, hanya sebutir apel. Tetapi, bukan hanya perutku yang diberinya
makanan... Dia bagaikan malaikat dari surga. Dia memberi makanan untuk jiwaku.
Dan entah bagaimana, aku tahu aku juga memberinya makanan.
Suatu hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami akan dipindahkan ke kamp lain. Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang jelas, itu merupakan akhir pertemuanku dengan kawanku itu.
Esok harinya ketika aku menyapanya, dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak kuasa kusampaikan,
“Besok jangan bawakan aku apel,” kataku kepadanya. “Aku akan dipindahkan ke kamp lain. Kita takkan pernah bertemu lagi.” Sebelum kehilangan kendali atas diriku, aku berbalik dan berlari menjauhi pagar. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir membasahi wajahku.
Bulan demi bulan berlalu... Mimpi buruk itu terus berlanjut. Tetapi kenangan akan anak perempuan itu membantuku mengatasi saat-saat mengerikan, rasa sakit, dan rasa putus asa.
Berkali-kali
aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat wajahnya dan matanya yang
lembut.
Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu.
Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu.
Sampai pada
suatu hari, mimpi buruk itu tiba – tiba berakhir... Perang sudah selesai. Kami
yang masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua milikku yang berharga,
termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyimpan kenangan akan anak perempuan
itu... kenangan yang kusimpan dalam hati dan memberiku kemauan untuk meneruskan
hidupku setelah aku pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru.
Tahun-tahun
berlalu... Sampai tahun 1957. Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang
kawan memaksaku melakukan kencan buta dengan seorang wanita kawannya.
Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak – tidaknya kami punya persamaan.
Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak – tidaknya kami punya persamaan.
“Di mana kau selama masa perang...?” Roma bertanya kepadaku, dengan cara halus seperti umumnya para imigran
yang saling bertanya tentang tahun-tahun itu.
“Aku ada di sebuah kamp konsentrasi di Jerman,” jawabku.
Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku ingat masa laluku, Herman,” Roma menjelaskan dengan suara yang tiba-tiba menjadi sangat lembut. “Waktu masih kecil, aku tinggal dekat sebuah kamp konsentrasi. Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari. Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya. Aku selalu melemparkan apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali.”
Roma mendesah panjang, lalu meneruskan, “Sulit menggambarkan bagaimana perasaan kami masing – masing... bagaimanapun waktu itu kami masih muda sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar beberapa
kata... tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta yang tulus. Aku yakin dia pasti dibunuh seperti yang lain-lain. Tetapi, aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang bersama – sama.”
Dengan jantung
berdegup kencang hingga kupikir nyaris meledak, aku menatap Roma lekat – lekat dan
bertanya,
“Apakah pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu, besok jangan bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan
ke kamp lain’?”
“Wah, ya,” sahut Roma, suaranya bergetar... “Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?”
Aku meraih tangannya dan menjawab, “Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma.”
“Apakah pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu, besok jangan bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan
ke kamp lain’?”
“Wah, ya,” sahut Roma, suaranya bergetar... “Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?”
Aku meraih tangannya dan menjawab, “Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma.”
Detik-detik
berlalu lambat. Yang ada hanya keheningan. Kami tak dapat mengalihkan mata
kami. Lama kami saling
memandang. Kemudian, setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari kenangan kami.
memandang. Kemudian, setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari kenangan kami.
Akhirnya, aku
berkata, “Roma, aku pernah dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin
dipisahkan lagi darimu. Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu,
selamanya. Sayangku, maukah kau menikah denganku?”
Aku melihat binar – binar yang sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab, “Ya, aku mau menikah denganmu.” Lalu kami berpelukan, pelukan yang sudah kami dambakan selama bertahun – tahun, tetapi
terhalang oleh, pagar kawat berduri yang memisahkan kami.
Aku melihat binar – binar yang sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab, “Ya, aku mau menikah denganmu.” Lalu kami berpelukan, pelukan yang sudah kami dambakan selama bertahun – tahun, tetapi
terhalang oleh, pagar kawat berduri yang memisahkan kami.
Sekarang, tak
ada lagi yang akan memisahkan kami. Hampir empat puluh tahun telah berlalu
sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Tuhan mempertemukan kami untuk pertama
kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji harapan.
Sekarang, Tuhan pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan janji itu.
Hari Valentine
tahun 1996. Kuajak Roma ke acara Oprah Winfrey Show untuk menghormatinya di
siaran televisi nasional. Di depan jutaan pemirsa, aku ingin mengatakan kepadanya
apa yang kurasakan dalam hatiku setiap hari:
“Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu.”
“Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu.”
Herman dan Roma
Rosenblat
Happy Valentine’s Day
With Love,
Daniel Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar